Tuesday, December 20, 2011

[37] Kekasihku Pergi Saat Berjihad (Kisah Pegawai Pajak)

Sebuah kisah yang semoga bisa menginspirasi kita untuk jadi lebih baik..
 -------------
SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.

Tuesday, December 13, 2011

[36] Bicara Remaja, Bicara Moral


Remaja merupakan generasi penerus yang akan membawa tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Bicara tentang remaja, rasanya tidak bisa lepas dari berbagai masalah yang menyertainya. Tawuran, narkoba, sex bebas, merupakan beberapa dari banyak hal yang seharusnya menjadi keprihatinan kita pada dunia remaja.
Remaja adalah sosok yang memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Keinginannya untuk berekspresi begitu tinggi. Kalau ekspresi tersebut dalam hal yang baik, seperti prestasi sekolah, bersosialisasi dalam organisasi kemasyarakatan, tentu sah-sah saja, malah perlu kita berikan dorongan. Tetapi repotnya adalah,  remaja saat ini sering salah dalam mengartikan kebebasan berekspresi. Mereka menganggap bahwa sex bebas diluar nikah adalah sesuatu yang lazim, sesuatu yang patut dicoba, terlebih lagi bagi remaja yang terikat dengan status “pacaran”. Mengapa hal tersebut (hubungan sex di luar nikah) begitu marak terjadi?
Faktor pertama yang menurut saya menjadi pemicu adalah kurangnya kontrol dan komunikasi dari orang tua atau keluarga. Rasa tidak nyaman berada dalam keluarga karena kurangnya komunikasi akan memicu seorang remaja untuk mencari sesuatu yang Ia inginkan di luar rumah. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas, keluarga seharusnya menjadi tempat pertama bagi remaja untuk memperoleh informasi yang benar tentang hal tersebut. Jika tidak, para remaja akan mencari sendiri dari sumber lain. Dengan kemajuan teknologi dan arus informasi, seseorang akan dengan mudahnya mengakses hal-hal yang berbau porno melalui TV, VCD, koran dan majalah, internet, bahkan lewat handphone. Sehebat apapun pengaruh dari luar, jika dari dalam individu seorang remaja itu sendiri memiliki pertahanan yang kuat, tentunya Ia tidak akan sampai terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Dan di sinilah orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai agama, peran yang pertama dan utama.
Faktor kedua adalah lingkungan pergaulan/teman. Dengan siapa seseorang bergaul sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bagaimana perilakunya. Remaja biasanya merasa risih jika harus menyampaikan masalah reproduksi/seksualnya kepada orang tua, mereka lebih nyaman bercerita hal tersebut dengan temannya. Hal ini mungkin karena tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara remaja dengan orang tua, sehingga timbul rasa tidak percaya dalam diri remaja tersebut. Dalam sebuah komunitas pergaulan, seorang remaja biasanya akan terdorong untuk melakukan apa yang dilakukan oleh komunitasnya, mekipun Ia tahu hal tersebut tidak benar. Tidak sedikit kita dengar bahwa seseorang melakukan perbuatan zina dan hal-hal lain yang dilarang karena terpengaruh ajakan dan ejekan dari teman sepergaulannya. Contohnya, seorang remaja yang belum pernah merokok dibilang norak/kampungan, orang yang belum pernah ciuman dikatakan ketinggalan jaman,  yang belum pernah berhubungan sex dicap cupu, dsb. Di sinilah bahayanya, teman sepergaulan tidak menjamin seseorang memperoleh informasi yang tepat tentang masalah reproduksi dan seksual, justru jika salah memilih teman, seorang remaja akan ikut terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Faktor selanjutnya adalah berasal dari lingkungan sekolah. Sekolah sebagai madrasah kedua setelah keluarga memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam membentuk karakter remaja yang beretika. Pendidikan mengenai kesehatan reproduksi seharusnya diberikan kepada seluruh siswa dengan cara yang tepat, tidak mengundang rasa penasaran pada diri remaja, serta tetap menanamkan nilai-nilai moral dan keagamaan.
Selanjutnya adalah lemahnya peran masyarakat serta pemerintah. Peran di sini dapat berupa control dari masyarakat atau berupa kebijakan yang kurang tepat dari pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk mencegah semakin maraknya seks bebas adalah dengan membagi-bagikan kondom gratis. Yang terjadi adalah, bukannya makin mereda tetapi malah praktek seks bebas oleh remaja semakin menjadi-jadi.
Intinya, semua pihak sebenarnya harus turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada remaja saat ini. Yang penting adalah jangan sampai memberikan sesuatu yang justru semakin membuat moral remaja semakin terdegradasi. Dengan langkah bersama dan tekad yang kuat, saya yakin sedikit demi sedikit kita akan dapat memperbaiki kondisi yang makin terpuruk ini.

[35] Bonus Demografi, Bagaimana dengan Afrika?

Perubahan pada faktor-faktor kependudukan secara tidak langsung akan berpengaruh pada perekonomian suatu negara. Perubahan pada struktur umur penduduk misalnya, akan berdampak pada variasi komposisi penduduk Negara tersebut. Negara yang sebagian besar penduduknya adalah penduduk usia muda, maka sumber daya yang dimiliki sebagian besar akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga pertumbuhan ekonominya rendah. Sebaliknya, jika suatu negara memiliki proporsi penduduk usia kerja yang lebih besar, maka akan terjadi peningkatan output per kapita dan biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk muda dapat dialihkan untuk investasi di bidang yang lain, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Transisi demografi dimulai dengan tingkat fertilitas dan mortalitas yang sama-sama tinggi, kemudian pada tahap selanjutnya mortalitas turun sedangkan fertilitas masih tetap tinggi. Penurunan tingkat kematian, terutama kematian bayi terjadi karena pengaruh kemajuan teknologi di bidang kesehatan serta ditemukannya obat-obatan antibiotik. Kohor kelahiran ini kemudian tetap bertahan hingga memasuki usia kerja. Karena jumlahnya yang lebih besar dibandingkan penduduk di kelampok usia yang lain (penduduk muda dan penduduk tua, atau digolongkan penduduk usia tidak produktif), suatu saat akan terjadi dependency ratio berada pada titik terendah, dimana jika kita bisa memanfaatkan kondisi ini dengan baik, kita akan memperoleh keuntungan ekonomis yang disebut dengan bonus demografi (demographic dividend).
Kembali pada permasalahan yang diangkat dalam jurnal penelitian ini, wilayah yang menjadi fokus penelitian adalah negara-negara di Afrika. Hal ini karena peneliti melihat bahwa sebenarnya negara-negara tersebut memiliki potensi yang cukup besar untuk meraih keuntungan dari bonus demografi, namun ada syarat-syarat atau kondisi yang sebelumnya harus dipenuhi, salah satunya adalah institusi yang solid. Lee and Mason  (2006) bersama dengan Bloom dkk  (2003) menyatakan bahwa ketidakefektifan dalam menghadapi transisi demografi dan menyadari adanya bonus demografi terjadi ketika kualitas institusi tidak berada pada tempatnya Dalam hal ini kata “institusi” digunakan untuk menyatakan beberapa dimensi diantaranya : rule of law (bagaimana penegakan hukum di suatu negara), efisiensi birokrasi (apakah lembaga-lembaga yang ada di suatu negara bekerja dengan baik dalam menjalankan tugasnya), korupsi (ada tidaknya korupsi), kebebasan politik (digambarkan dengan adanya kebebasan berpendapat bagi setiap warga negaranya), serta infrastruktur (meliputi fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dll) dan lapangan pekerjaan.
Kemudian apa yang akan terjadi jika kesempatan yang ada (bonus demografi) tidak dimanfaatkan dengan baik, atau tidak disertai dengan kebijakan yang tepat? Jika kondisinya seperti itu, maka bisa dipastikan negara tersebut akan kehilangan kesempatan untuk meraih keuntungan bonus demografi, karena bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam perjalanan penduduk suatu negara, kohor kelahiran yang telah memasuki usia kerja pada gilirannya akan memasuki usia tua/lansia yang dapat kembali menaikkan angka dependency ratio. Akibat berikutnya adalah terjadinya peningkatan pengangguran. Penduduk usia kerja dengan jumlah yang besar tetapi tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai akan menjadi masalah serius bagi suatu negara. Dampak selanjutnya dari kondisi tersebut adalah terjadinya peningkatan kriminalitas serta ketidakstabilan politik.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa Afrika berbeda dengan negara-negara di bagian dunia lain (ROW). Dengan menggunakan data pendapatan nasional serta beberapa variabel yang terkait dengan institusi, dilihat bagaimana hubungan antara faktor-faktor demografi dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa faktor-faktor demografi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, tergantung pada kualitas institusi suatu negara. Dinyatakan juga bahwa Afrika bisa dibilang berbeda dengan ROW, dapat dilihat dari rata-rata lama sekolah yang masih 40% dari level yang dicapai di negara-negara bagian lain, serta angka harapan hidup yang 20 tahun lebih rendah dari ROW. Hasil lainnya yaitu bahwa secara rata-rata kualitas institusi di Afrika masih ketinggalan dari ROW. Negara dengan kualitas institusi terbaik  diantaranya adalah Afrika Selatan, Namibia, dan Botswana. Sedangkan negara dengan kualitas intitusi paling buruk yaitu Sudan dan Republik Congo.
 
_Resume dari jurnal Realizing the Demographic Dividend : Is Africa Any Different? karya David E Bloom, David Canning, Günther Fink, Jocelyn Finlay